Komunikasi mempunyai banyak sekali makna
dan sangat bergantung pada konteks pada saat komunikasi dilakukan. Bagi
beberapa orang, komunikasi merupakan pertukaran informasi diantara dua
orang atau lebih, atau dengan kata lain; pertukaran ide atau pemikiran.
Metodenya antara lain: berbicara dan mendengarkan atau menulis dan
membaca, melukis, menari, bercerita dan lain sebagainya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa segala bentuk upaya penyampaian pikiran kepada orang
lain, tidak hanya secara lisan (verbal) atau tulisan tetapi juga gerakan
tubuh atau gesture (non-verbal), adalah komunikasi.
Komunikasi merupakan suatu proses karena
melalui komunikasi seseorang menyampaikan dan mendapatkan respon.
Komunikasi dalam hal ini mempunyai dua tujuan, yaitu: mempengaruhi orang
lain dan untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi, komunikasi dapat
digambarkan sebagai komunikasi yang memiliki kegunaan atau berguna
(berbagi informasi, pemikiran, perasaan) dan komunikasi yang tidak
memiliki kegunaan atau tidak berguna (menghambat/blok penyampaian
informasi atau perasaan). Keterampilan berkomunikasi merupakan
keterampilan yang dimiliki oleh seseorang untuk membangun suatu
hubungan, baik itu hubungan yang kompleks maupun hubungan yang sederhana
melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan verbal dan non verbal
yang dimiliki oleh seseorang menggambarkan secara utuh dirinya,
perasaannya dan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Melalui komunikasi
seorang individu dapat bertahan hidup, membangun hubungan dan merasakan
kebahagiaan.
Effendy O.U (2002) dalam Suryani (2005)
menyatakan lima komponen dalam komunikasi yaitu; komunikator, komunikan,
pesan, media dan efek. Komunikator (pengirim pesan) menyampaikan pesan
baik secara langsung atau melalui media kepada komunikan (penerima
pesan) sehingga timbul efek atau akibat terhadap pesan yang telah
diterima. Selain itu, komunikan juga dapat memberikan umpan balik kepada
komunikator sehingga terciptalah suatu komunikasi yang lebih lanjut.
Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skill
yang harus dimiliki oleh perawat, karena komunikasi merupakan proses
yang dinamis yang digunakan untuk mengumpulkan data pengkajian,
memberikan pendidikan atau informasi kesehatan-mempengaruhi klien untuk
mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan caring, memberikan
rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai nilai-nilai
klien. Sehingga dapat juga disimpulkan bahwa dalam keperawatan,
komunikasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan. Seorang
perawat yang berkomunikasi secara efektif akan lebih mampu dalam
mengumpulkan data, melakukan tindakan keperawatan (intervensi),
mengevaluasi pelaksanaan dari intervensi yang telah dilakukan,
melakukan perubahan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah terjadinya
masalah- masalah legal yang berkaitan dengan proses keperawatan.
Proses komunikasi dibangun berdasarkan
hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya. Komunikasi efektif
merupakan hal yang esensial dalam menciptakan hubungan antara perawat
dan klien. Addalati (1983), Bucaille (1979) dan Amsyari (1995)
menegaskan bahwa seorang perawat yang beragama, tidak dapat bersikap
masa bodoh, tidak peduli terhadap pasien, seseorang (perawat) yang
tidak care dengan orang lain (pasien) adalah berdosa. Seorang
perawat yang tidak menjalankan profesinya secara profesional akan
merugikan orang lain (pasien), unit kerjanya dan juga dirinya sendiri.
Komunikasi seorang perawat dengan pasien pada umumnya menggunakan
komunikasi yang berjenjang yakni komunikasi intrapersonal, interpersonal
dan komunal/kelompok. Demikian pula ditegaskan dalam Poter dan Perry
(1993) bahwa komunikasi dalam prosesnya terjadi dalam tiga tahapan yakni
komunikasi intrapersonal (terjadi dalam diri individu sendiri),
interpersonal (interaksi antara dua orang atau kelompok kecil) dan
publik (interaksi dalam kelompok besar).
KOMUNIKASI TERAPEUTIKA. Pengertian
Komunikasi dalam keperawatan disebut
dengan komunikasi terapeutik, dalam hal ini komunikasi yang dilakukan
oleh seorang perawat pada saat melakukan intervensi keperawatan harus
mampu memberikan khasiat therapi bagi proses penyembuhan pasien. Oleh
karenanya seorang perawat harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
aplikatif komunikasi terapeutik agar kebutuhan dan kepuasan pasien dapat
dipenuhi. Northouse (1998) mendefinisikan komunikasi terapeutik sebagai
kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi
terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana
berhubungan dengan orang lain. Stuart G.W (1998) menyatakan bahwa
komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat
dan klien, dalam hubungan ini perawat dan klien memperoleh pengalaman
belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien.
Sedangkan S.Sundeen (1990) menyatakan bahwa hubungan terapeutik adalah
hubungan kerjasama yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan,
pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik.
Dari beberapa pengertian diatas dapat
dipahami bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang memiliki
makna terapeutik bagi klien dan dilakukan oleh perawat (helper) untuk membantu klien mencapai kembali kondisi yang adaptif dan positif.
A. Fungsi
Telah disebutkan sebelumnya bahwa
komunikasi yang dilakukan oleh perawat adalah komunikasi yang
berjenjang. Masing-masing jenjang komunikasi tersebut memiliki fungsi
sebagai berikut:
1. Komunikasi IntrapersonalDigunakan untuk berpikir, belajar, merenung, meningkatkan motivasi, introspeksi diri.
2. Komunikasi Interpersonal
Digunakan untuk meningkatkan hubungan
interpersonal, menggali data atau masalah, menawarkan gagasan, memberi
dan menerima informasi.
3. Komunikasi Publik
Mempengaruhi orang banyak, menyampaikan informasi, menyampaikan perintah atau larangan umum (publik).
B. Tujuan
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk
mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
1. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan
terjadi perubahan dalam diri klien. Klien yang menderita penyakit kronis
ataupun terminal umumnya mengalami perubahan dalam dirinya, ia tidak
mampu menerima keberadaan dirinya, mengalami gangguan gambaran diri,
penurunan harga diri, merasa tidak berarti dan pada akhirnya merasa
putus asa dan depresi.
2. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain.
Melalui komunikasi terapeutik, klien
belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi
yang terbuka, jujur dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat
meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya
(Hibdon, 2000). Rogers (1974) dalam Abraham dan Shanley (1997)
mengemukakan bahwa hubungan mendalam yang digunakan dalam proses
interaksi antara perawat dan klien merupakan area untuk mengekspresikan
kebutuhan, memecahkan masalah dan meningkatkan kemampuan koping.
3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis.
Terkadang klien menetapkan ideal diri
atau tujuan terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya. Taylor, Lilis
dan La Mone (1997) mengemukakan bahwa individu yang merasa kenyataan
dirinya mendekati ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi sedangkan
individu yang merasa kenyataan hidupnya jauh dari ideal dirinya akan
merasa rendah diri.
4. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
Klien yang mengalami gangguan identitas
personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga
diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat
membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang
jelas.
D. Unsur-unsur Komunikasi Terapeutik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa komunikasi mempunyai lima komponen, demikian pula dalam komunikasi
terapeutik. Proses terjadinya sebuah komunikasi terapeutik antara
perawat dan klien dimulai dari penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan baik secara verbal maupun non verbal, dengan menggunakan
media atau tidak. Pesan yang diterima oleh komunikan kemudian akan
diproses oleh komunikan, proses ini disebut dengan decoding. Setelah komunikan memahami pesan yang diterimanya, ia pun melakukan proses encoding
(transformasi informasi menjadi sebuah bentuk pesan yang dapat
disampaikan kepada orang lain) dalam dirinya untuk menyampaikan umpan
balik (feedback) terhadap pesan yang diterimanya. Demikian
proses ini akan terus berulang sampai pada akhirnya tujuan dari
komunikasi yang dilakukan tercapai oleh keduanya.
E. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik meningkatkan
pemahaman dan membantu terbentuknya hubungan yang konstruktif diantara
perawat-klien. Tidak seperti komunikasi sosial, komunikasi terapeutik
mempunyai tujuan untuk membantu klien mencapai suatu tujuan dalam
asuhan keperawatan. Oleh karenanya sangat penting bagi perawat untuk
memahami prinsip dasar komunikasi terapeutik berikut ini;
- Hubungan perawat dan klien adalah hubungan terapeutik yang saling menguntungkan, didasarkan pada prinsip ‘humanity of nurses and clients’. Hubungan ini tidak hanya sekedar hubungan seorang penolong (helper/perawat) dengan kliennya, tetapi hubungan antara manusia yang bermartabat (Dult-Battey,2004).
- Perawat harus menghargai keunikan klien, menghargai perbedaan karakter, memahami perasaan dan perilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.
- Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga dirinya dan harga diri klien.
- Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya (trust) harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan alternatif pemecahan masalah (Stuart,1998). Hubungan saling percaya antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.
Salah satu karakteristik dasar dari
komunikasi yaitu ketika seseorang melakukan komunikasi terhadap orang
lain maka akan tercipta suatu hubungan diantara keduanya, selain itu
komunikasi bersifat resiprokal dan berkelanjutan. Hal inilah yang pada
akhirnya membentuk suatu hubungan ‘helping relationship’. Helping relationship adalah hubungan yang terjadi
diantara dua (atau lebih) individu maupun kelompok yang saling
memberikan dan menerima bantuan atau dukungan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya sepanjang kehidupan. Pada konteks keperawatan hubungan yang
dimaksud adalah hubungan antara perawat dan klien. Ketika hubungan
antara perawat dan klien terjadi, perawat sebagai penolong (helper) membantu
klien sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, untuk mencapai tujuan
yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia klien.
Menurut Roger dalam Stuart G.W (1998), ada beberapa karakteristik seorang helper (perawat) yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik, yaitu:1. Kejujuran
Kejujuran sangat penting, karena tanpa
adanya kejujuran mustahil bisa terbina hubungan saling percaya.
Seseorang akan menaruh rasa percaya pada lawan bicara yang terbuka dan
mempunyai respons yang tidak dibuat-buat, sebaliknya ia akan
berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga
sering menyembunyikan isi hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau
sikapnya yang tidak jujur (Rahmat, J.,1996 dalam Suryani,2005).). Sangat
penting bagi perawat untuk menjaga kejujuran saat berkomunikasi dengan
klien, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka klien akan
menarik diri, merasa dibohongi, membenci perawat atau bisa juga
berpura-pura patuh terhadap perawat.
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif
Dalam berkomunikasi dengan klien, perawat
sebaiknya menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh klien dan
tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit. Komunikasi nonverbal
perawat harus cukup ekspresif dan sesuai dengan verbalnya karena
ketidaksesuaian akan menimbulkan kebingungan bagi klien.
3. Bersikap positif
Bersikap positif terhadap apa saja yang
dikatakan dan disampaikan lewat komunikasi nonverbal sangat penting baik
dalam membina hubungan saling percaya maupun dalam membuat rencana
tindakan bersama klien. Bersikap positif ditunjukkan dengan bersikap
hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien. Untuk mencapai
kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang terapeutik tidak memerlukan
kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu diantara perawat dan klien
akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat klien merasa aman dan
diterima dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya (Burnard,P dan
Morrison P,1991 dalam Suryani,2005).
4. Empati bukan simpati
Sikap empati sangat diperlukan dalam
asuhan keperawatan, karena dengan sikap ini perawat akan mampu
merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan
dipikirkan klien (Brammer,1993 dalam Suryani,2005). Dengan bersikap
empati perawat dapat memberikan alternative pemecahan masalah karena
perawat tidak hanya merasakan permasalahan klien tetapi juga tidak
berlarut-larut dalam perasaaan tersebut dan turut berupaya mencari
penyelesaian masalah secara objektif.
5. Mampu melihat permasalahan dari kacamata klien
Dalam memberikan asuhan keperawatan,
perawat harus berorientasi pada klien (Taylor, Lilis dan Le Mone, 1993),
oleh karenaya perawat harus mampu untuk melihat permasalahan yang
sedang dihadapi klien dari sudut pandang klien. Untuk mampu melakukan
hal ini perawat harus memahami dan memiliki kemampuan mendengarkan
dengan aktif dan penuh perhatian. Mendengarkan dengan penuh perhatian
berarti mengabsorpsi isi dari komunikasi (kata-kata dan perasaan) tanpa
melakukan seleksi. Pendengar (perawat) tidak sekedar mendengarkan dan
menyampaikan respon yang di inginkan oleh pembicara (klien), tetapi
berfokus pada kebutuhan pembicara. Mendengarkan dengan penuh perhatian
menunjukkan sikap caring sehingga memotivasi klien untuk berbicara atau menyampaikan perasaannya.
6. Menerima klien apa adanya
Seorang helper yang efektif
memiliki kemampuan untuk menerima klien apa adanya. Jika seseorang
merasa diterima maka dia akan merasa aman dalam menjalin hubungan
interpersonal (Sullivan, 1971 dalam Antai Ontong, 1995 dalam Suryani,
2005). Nilai yang diyakini atau diterapkan oleh perawat terhadap dirinya
tidak dapat diterapkan pada klien, apabila hal ini terjadi maka perawat
tidak menunjukkan sikap menerima klien apa adanya.
7. Sensitif terhadap perasaan klien
Seorang perawat harus mampu mengenali
perasaan klien untuk dapat menciptakan hubungan terapeutik yang baik dan
efektif dengan klien. Dengan bersikap sensitive terhadap perasaan klien
perawat dapat terhindar dari berkata atau melakukan hal-hal yang
menyinggung privasi ataupun perasaan klien.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri
Perawat harus mampu memandang dan
menghargai klien sebagai individu yang ada pada saat ini, bukan atas
masa lalunya, demikian pula terhadap dirinya sendiri.
G. Tahapan Komunikasi Terapeutik
Telah disebutkan sebelumnya bahwa
komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terstruktur dan memiliki
tahapan-tahapan. Stuart G.W, 1998 menjelaskan bahwa dalam prosesnya
komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan yaitu tahap
persiapan atau tahap pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi,
tahap kerja dan tahap terminasi.
1. Tahap Persiapan/Pra-interaksi
Dalam tahapan ini perawat menggali
perasaan dan menilik dirinya dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan
kekurangannya. Pada tahap ini juga perawat mencari informasi tentang
klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat
merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tahapan ini
dilakukan oleh perawat dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau
kecemasan yang mungkin dirasakan oleh perawat sebelum melakukan
komunikasi terapeutik dengan klien.
Kecemasan yang dialami seseorang dapat
sangat mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates dan
Kenworthy, 2000 dalam Suryani, 2005). Hal ini disebabkan oleh adanya
kesalahan dalam menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh lawan
bicara. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu
mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik (Brammer, 1993
dalam Suryani, 2005) sehingga tidak mampu melakukan active listening (mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian).
Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:- Mengeksplorasi perasaan, mendefinisikan harapan dan mengidentifikasi kecemasan.
- Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.
- Mengumpulkan data tentang klien.
- Merencanakan pertemuan pertama dengan klien.
Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali
pertemuan dengan klien dilakukan. Tujuan dalam tahap ini adalah
memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan
keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah
lalu (Stuart.G.W, 1998).
Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:- Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka.
- Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik pembicaraan) bersama-sama dengan klien dan menjelaskan atau mengklarifikasi kembali kontrak yang telah disepakati bersama.
- Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien yang umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi pertanyaan terbuka.
- Merumuskan tujuan interaksi dengan klien.
Sangat penting bagi perawat untuk
melaksanakan tahapan ini dengan baik karena tahapan ini merupakan dasar
bagi hubungan terapeutik antara perawat dan klien.
3. Tahap Kerja
Tahap kerja merupakan inti dari
keseluruhan proses komunikasi terapeutik (Stuart,G.W,1998). Tahap kerja
merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena
didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk
menyampaikan perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons
ataupun pesan komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh
klien. Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan secara aktif dan dengan
penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk mendefinisikan
masalah yang sedang dihadapi oleh klien, mencari penyelesaian masalah
dan mengevaluasinya.
Dibagian akhir tahap ini, perawat
diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien. Teknik
menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal
penting dalam percakapan, dan membantu perawat dan klien memiliki
pikiran dan ide yang sama (Murray,B. & Judith,P,1997 dalam
Suryani,2005). Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan oleh perawat
maka klien dapat merasakan bahwa keseluruhan pesan atau perasaan yang
telah disampaikannya diterima dengan baik dan benar-benar dipahami oleh
perawat.
4. Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan
perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara
dan terminasi akhir (Stuart,G.W,1998). Terminasi sementara adalah akhir
dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat
dan klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai
dengan kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi
akhir dilakukan oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh proses
keperawatan.
Tugas perawat dalam tahap ini adalah:- Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan (evaluasi objektif). Brammer dan McDonald (1996) menyatakan bahwa meminta klien untuk menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat berguna pada tahap ini.
- Melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat.
- Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang disepakati harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada pertemuan berikutnya.
Egan (1998) dalam Kozier,et.al
(2004), telah menggambarkan lima cara yang spesifik untuk menunjukkan
kehadiran secara fisik ketika melaksanakan komunikasi terapeutik, yang
ia definisikan sebagai sikap atas kehadiran atau keberadaan terhadap
orang lain atau ketika sedang berada dengan orang lain. Berikut adalah
tindakan atau sikap yang dilakukan ketika menunjukkan kehadiran secara
fisik :
1. Berhadapan dengan lawan bicara Dengan posisi ini perawat menyatakan kesiapannya (“saya siap untuk anda”).
2. Sikap tubuh terbuka; kaki dan tangan terbuka (tidak bersilangan)
Sikap tubuh yang terbuka menunjukkan bahwa perawat bersedia untuk mendukung terciptanya komunikasi.
3. Menunduk/memposisikan tubuh kearah/lebih dekat dengan lawan bicaraHal ini menunjukkan bahwa perawat bersiap untuk merespon dalam komunikasi (berbicara-mendengar).
4. Pertahankan kontak mata, sejajar, dan natural
Dengan posisi mata sejajar perawat menunjukkan kesediaannya untuk mempertahankan komunikasi.
5. Bersikap tenang
Akan lebih terlihat bila tidak terburu-buru saat berbicara dan menggunakan gerakan/bahasa tubuh yang natural.
PENUTUP
Komunikasi terapeutik merupakan tanggung
jawab moral seorang perawat. Komunikasi terapeutik bukanlah hanya salah
satu upaya yang dilakukan oleh perawat untuk mendukung proses
keperawatan yang diberikan kepada klien. Untuk dapat melakukannya dengan
baik dan efektif diperlukan latihan dan pengasahan keterampilan
berkomunikasi sehingga efek terapeutik yang menjadi tujuan dalam
komunikasi terapeutik dapat tercapai.
Ketika seorang perawat berusaha untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang ia miliki untuk melakukan komunikasi
terapeutik, ia pada akhirnya akan menyadari bahwa komunikasi terapeutik
yang ia lakukan tidak hanya memberikan khasiat terapeutik bagi pasiennya
tetapi juga bagi dirinya sendiri.
REFERENSI
Hilton. A.P.(2004).Fundamental Nursing Skills. USA: Whurr Publisher Ltd
Kozier,et.al.(2004). Fundamentals of nursing ; concepts, process and practice Seventh edition. United States: Pearson Prentice Hall
Potter, P.A & Perry, A.G.(1993). Fundamental of Nursing Concepts, Process and Practice. Third edition. St.Louis: Mosby Year Book
Sears.M.(2004). Using Therapeutic Communication to Connect with Patients. http://www.NonviolentCommunication.com
Stuart, G.W & Sundeen S.J.(1995). Pocket guide to Psychiatric Nursing. Third edition. St.Louis: Mosby Year Book
Stuart, G.W & Sundeen S.J.(1995). Principles and Practise of Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Year Book
Suryani.(2005). Komunikasi Terapeutik; Teori dan Praktik. Jakarta: EGC
Taylor, Lilis & LeMone.(1993). Fundamental of Nursing; the art and science of nursing care. Third edition. Philadelphia: Lippincot-Raven Publication
Comments
Post a Comment